Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan agama kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. HR. Bukhari Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bidโah, dan tiap bidโah adalah sesat, dan tiap kesesatan menjurus ke neraka. HR. Muslim Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bidโah sesudah aku Rasulullah Saw. tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh bebas dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak citra Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bidโah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. HR. Ath-Thahawi Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, โSiapa merekaโ yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?โ Beliau menjawab, โOrang-orang Yahudi dan Nasrani.โ HR. Bukhari Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. Ar-Ridha Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, โYa Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?โ Beliau menjawab, โMengada-adakan amalan bidโah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya.โ HR. Daruquthin dari Anas. Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bidโah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taqโuduu maโahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual. Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku โDoa Bersama Muslim non Muslimโ ini ini jelas-jelas bidโah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bidโah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam, Bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur idza marartum bi riyaadhil jannah fartaโuu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu riyadhul jannah taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab majlis dzikir. Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ? Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ? Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran. Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah. Doa penutup. Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya. Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah. Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BIDโAH HASANAH. Siapa kira-kira yang memulai Bidโah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata Niโmatil bidโatu haadzihi sebaik-baik bidโah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh. Bidโahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjamaโah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qurโan. Hal ini sama lestarinya dengan bidโahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BIDโAH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan perbuatan baru yang baik di dalam Islam yang tidak bertentangan dengan syariat, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun. Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bidโah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bidโahnya Tarawih Berjamaah maupun Bidโahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya. CONTOH-CONTOH BIDโAH HASANAH Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut, Pembukuan al Qurโan. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qurโan. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qurโan. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll. Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermaโmum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jumโat. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jumโat. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dloโif atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qurโan. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabiโin. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya. Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal. dan masih banyak contoh-contoh lain. Dikutip dari ebook โDALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN NUโ yang ditulis oleh Imam Nawawi,
Jawaban2: Memahami dengan benar [ุงูู
ุตุงูุญ ุงูู
ุฑุณูุฉ] "al-masholihul mursalah". Yang mendukung bid'ah hasanah kurang paham, sehingga menggiranya adalah bid'ah. Memang keduanya hampir mirip yaitu sama-sama kelihatannya hal yang baru dalam agama. Tetapi hakikatnya al-masholihul mursalah ada dalilnya dalam syariat. Bagi yang
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membidโahkan suatu amalan, โItu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.โ Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim Ketika Nabi tidak melakukan suatu halโdalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut โat-tarkโโ mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim pengharaman. Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [maโshum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kulturalโred, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru. Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark tidak melakukan saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan ู
ูุง ุฏูุฎููููู ุงูุงุญูุชูู
ูุงูู ุณูููุทู ุจููู ุงูุงุณูุชูุฏููุงููู "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain". Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan ููููู ู
ูุง ูููู ู
ูุณูุชูููุฏู ู
ููู ุงูุดููุฑูุนู ููููููุณู ุจูุจูุฏูุนูุฉู ูููููู ููู
ู ููุนูู
ููู ุจููู ุงูุณูููููู "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf." Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh ุชูุฑููู ุงูุดููููุกู ูุงู ููุฏูููู ุนูููู ู
ูููุนููู "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang untuk melakukan sesuatu yang ditinggalkan tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja. Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal ada 1 nahy larangan, atau 2 lafazh tahrim atau 3 dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman ููู
ูุขุกูุงุชูุงููู
ู ุงูุฑููุณูููู ููุฎูุฐูููู ููู
ูุงููููุงููู
ู ุนููููู ููุงูุชููููุง Maknanya "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlahโฆ" al Hasyr 7 Allah tidak menyatakan ููู
ูุง ุขุชูุงููู
ู ุงูุฑููุณููููู ููุฎูุฐููููู ููู
ูุง ุชูุฑููููู ููุงููุชูููููุง ุนููููู "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah." Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan "ููุงูุชููุฑููู ููููุณู ุจูู
ูููุฌูุจู ููุญูููู
ู ููู ุฐููููู ุงููู
ูุชูุฑููููู ุฅููุงูู ุฌูููุงุฒู ุงูุชููุฑููู ููุงููุชูููุงุกู ุงููุญูุฑูุฌู ููููููุ ููุฃูู
ููุง ุชูุญูุฑูููู
ู ุฃููู ููุตููููู ููุฑูุงููููุฉู ุจูุงููู
ูุชูุฑููููู ูููุงูุ ูููุงู ุณููููู
ูุง ููููู
ูุง ูููู ุฃูุตููู ุฌูู
ูููููู ู
ูุชูููุฑููุฑู ู
ููู ุงูุดููุฑูุนู ููุงูุฏููุนูุงุกู". "Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya". Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari ููุงูู ุงุจููู ุจูุทููุงูู ููุนููู ุงูุฑููุณููููู ุฅูุฐูุง ุชูุฌูุฑููุฏู ุนููู ุงูููุฑูุงุฆููู โููููุฐูุง ุชูุฑููููู- ูุงู ููุฏูููู ุนูููู ููุฌูููุจู ููุชูุญูุฑูููู
ู "Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah konteks, red lain โdemikian pula tark-nyaโtidak menunjukkan kewajiban dan keharamanโ." Kitab Fathul Bari, 9/14 Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "ููููุฐูุง ุชูุฑููููู" menunjukkan bahwa at-tark saja mujarrad at-tark tidak menunjukkan pengharaman. Perihal Tuntutan โMana Dalilnya?โ Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, โIni tidak ada dalilnya!โ, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut. Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti ููุงููุนููููุง ุงููุฎูููุฑู ููุนููููููู
ู ุชูููููุญูููู Maknanya โDan lakukan kebaikan supaya kalian beruntungโ al Hajj 77 Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan ุงูุนูุงู
ูู ููุนูู
ููู ุจููู ูููู ุฌูู
ูููุนู ุฌูุฒูุฆููููุงุชููู "Dalil yang umum diterapkan digunakan dalam semua bagian-bagian cakupannya." Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata. Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup. Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furuโ dalam bab ibadah dan muโamalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi 2/210, Risalah Bulugh al Maโmul fi Khidmah ar-Rasul. Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya. Hati-hati Terperosok! Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlalโorang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih h. 132 ููุฅูุฐูุง ุฑูููู ุงูุซููููุฉู ุงููู
ูุฃูู
ููููู ุฎูุจูุฑูุง ู
ูุชููุตููู ุงูุฅูุณูููุงุฏู ุฑูุฏูู ุจูุฃูู
ูููุฑู" ุซูู
ูู ููุงูู "ููุงูุซููุงูููู ุฃููู ููุฎูุงูููู ููุตูู ุงููููุชูุงุจู ุฃููู ุงูุณููููููุฉู ุงููู
ูุชูููุงุชูุฑูุฉู ููููุนูููู
ู ุฃูููููู ูุงู ุฃูุตููู ูููู ุฃููู ู
ูููุณูููุฎูุ ููุงูุซููุงููุซู ุฃููู ููุฎูุงูููู ุงูุฅูุฌูู
ูุงุนู ููููุณูุชูุฏูููู ุนูููู ุฃูููููู ู
ูููุณูููุฎู ุฃููู ูุงู ุฃูุตููู ููููุ ูุฃูููููู ูุงู ููุฌูููุฒู ุฃููู ูููููููู ุตูุญูููุญูุง ุบูููุฑู ู
ูููุณูููุฎู ููุชูุฌูู
ูุนู ุงูุฃูู
ููุฉู ุนูููู ุฎููุงููููู "Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun terpercaya meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan Kedua hadits tersebut menyalahi nash Al-Qurโan, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Ketiga hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya". Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran adz-Dzahab al Muhallaq seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah ุฃููู ู
ูู ููููุดููุคูุง ููู ุงููุญูููููุฉู ูููููู ููู ุงููุฎูุตูุงู
ู ุบูููุฑู ู
ูุจูููู Maknanya "Dan apakah patut menjadi anak Allah orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". az-Zukhruf 18 Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan ูููุฐููู ุงูุฃูุฎูุจูุงุฑู ุฃููู ูููู ุงูุฅูุจูุงุญูุฉู ููู
ูุง ููุฑูุฏู ูููู ู
ูุนูููุงููุง ุชูุฏูููู ุนูููู ุฅูุจูุงุญูุฉู ุงูุชููุญูููููู ุจูุงูุฐููููุจู ููููููุณูุงุกูุ ููุงุณูุชูุฏูููููููุง ุจูุญูุตููููู ุงูุฅูุฌูู
ูุงุนู ุนูููู ุฅูุจูุงุญูุชููู ููููููู ุนูููู ููุณูุฎู ุงูุฃูุฎูุจูุงุฑู ุงูุฏููุงูููุฉู ุนูููู ุชูุญูุฑูููู
ููู ููููููููู ุฎูุงุตููุฉู "Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22. Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi. Teladan Toleransi Ulama Salaf Dalam bidang furuโ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafiโi, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti mazhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furuโ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati ูุงู ููููููุฑู ุงููู
ูุฎูุชููููู ูููููู ููุฅููููู
ูุง ููููููุฑู ุงููู
ูุฌูู
ูุนู ุนููููููู โTidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya mukhtalaf fih di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya mujmaโ alayhi.โ Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584 Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam. Ustadz Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto
KW69. ygzmoip50m.pages.dev/275ygzmoip50m.pages.dev/11ygzmoip50m.pages.dev/171ygzmoip50m.pages.dev/436ygzmoip50m.pages.dev/405ygzmoip50m.pages.dev/23ygzmoip50m.pages.dev/350ygzmoip50m.pages.dev/80
pertanyaan tentang bid ah